Headline

  • Kongres IMABA 2
  • Rapat IMABA di Arek Lancor
  • Cangkruk, Bro....!
  • Ngumpul lagi, Man....!

Followers

Konsep Kepemimpinan


Oleh : RauL, S.Pd.I

A. LATAR BELAKANG
Konsep kepemimpinan sudah ada sejak manusia itu diciptakan. Peran sebagai khalifah Allah di bumi menjadi sebuah bukti bahwa memang kepemimpinan itu harus ada dan diadakan. Dan inilah mungkin yang menjadi dasar bahwa secara simbolik manusia sering disebut sebagai makhluk yang suka berpolitik (zon politicon atau homo politicus). Hanya saja, kepemimpinan bukan sebatas pemimpin dan yang dipimpin saja. Sistem, bentuk, dan konsep pemerintahan adalah bagian integral yang tidak bisa disimpulkan secara parsial, harus holistic dan komprehensif. Dan Islam sebagai sebuah agama dalam hal ini juga dituntut untuk bisa memberikan solusi atas tuntutan itu. Mulai dari dulu hal inilah yang selalu menjadi “bahan baku” dari pergulatan pemikir-pemikir Islam, bahkan dalam nuansa kontemporer menjadi lahan favorit para orientalis dan pengamat Islam.

Walaupun berasal dari sumber yang sama, dari praktek kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat penerusnya (terlebih Khulafa’ al-Rasyidin), secara garis besar ada tiga typology tentang bagaimana konsep pemerintahan Islam itu. Yang pertama adalah konsep yang dicetuskan golongan Khawarij, sebuah kelompok sempalan dari pendukung Ali bin Abi Thalib, yang mempunyai interpretasi sangat teksbook terhadap Al-Quran. Bagi mereka, siapapun yang tidak berpijak pada Al-Quran mesti dibunuh. Sebaliknya, lelaki atau perempuan yang sanggup melaksanakan hukum-hukum Al-Quran berhak tampil sebagai pemimpin umat. Kelompok yang terkonotasi radikal ini tidak memandang keabsahan hukum apapun kecuali hukum Allah dalam kitab suci-Nya yang dipahami secara tekstual.

Yang kedua adalah Syiah, yang menawarkan sistem pemerintahan yang khas, Imamah. Imamah tidak saja merupakan bentuk pemerintahan, tetapi merupakan rancangan Allah. Bagi mereka, sebuah negara wajib dipimpin oleh seorang Imam yang mempunyai kekuasaan mutlak. Syariah bagi mereka takkan berjalan dengan tanpa Imam. Karena Imamlah yang paling berhak menafsirkan tuntunan syariah. Dan setiap penafsirannya dipandang sebagai kebenaran absolut.

Teori yang ketiga dikembangkan oleh golongan Sunni (Ahli Sunnah wa al-Jamaah), yang secara umum menawarkan konsep khilafah sebagai alternatif. Bagi mereka, umat harus bersatu dalam pemerintahan khalifah yang mempunyai kriteria tertentu. Bahkan pengangkatan seorang khalifah tidak bisa lepas dari pemilihan, hingga paham inilah yang paling dekat dengan nuansa demokrasi. Yang menarik, walau khalifah ini adalah pengganti Nabi, tetapi hanya dalam ranah kepemerintahan saja, bukan pada tugas kenabiannya. Dan dalam catatan sejarah, paham inilah yang menjadi mayoritas pemahaman umat Islam .

Seiring perjalanan waktu, timbullah paradigma-paradigma baru tentang pemerintahan Islam. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kebudayaan Eropa. Ketika demokrasi, konstitusi, parlementer, dan lainnya sudah mulai dikenal, maka ketiga konsep besar tadi akan menjadi semakin dipertanyakan dan di kritisi, sebagai dampak logis dari interaksi antara keduanya, terlebih setelah kejatuhan Dinasti Ustmany di Turki awal abad ke 20.

Dalam kelanjutannya, tidak ditemukan satupun negara Islam yang betul-betul menggunakan ketiga konsep tersebut. Bahkan Iran yang merupakan basis Syiah sekalipun sudah menjadi sebuah negara republik, walau dengan embel-embel Islam dibelakangnya. Lebih lanjut, semakin banyak pula yang berusaha merumuskan konsep pemerintahan Islam yang baru dan dinilai relevan dengan zaman yang tengah dihadapi, mulai dari yang beraliran konservatif hingga yang liberal, walau sebenarnya merupakan hasil pengembangan dari ketiga konsep tadi.

Dan diantara sekian banyaknya konsep pemerintahan Islam yang ada, konsep yang diusung oleh Taqiyuddin an-Nabhani bisa dikatakan sangat menarik. Walaupun mempunyai kesamaan yang jelas dengan konsep Sunni, yang mengusung khilafah, an-Nabhani lebih spesifik dan “berani” dalam konsepnya. Beliau bukan hanya menawarkan sebuah jawaban atas eksistensi pemerintahan Islam ditengah dikotomi demokrasi dan otokrasi, teokrasi dan monokrasi, melainkan juga melangkah lebih jauh dengan menetapkan juga lini perlini dari pemerintahan Islam hingga bahkan pada tatanan yang paling bawah sekalipun. Akan tetapi, karena begitu detailnya konsep yang ditawarkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani tentang sistem pemerintahan Islam, maka dalam makalah ini hanya akan dibahas beberapa point yang dianggap mampu mengakomodir keseluruhan permasalahan, sekaligus yang menjadi “lahan” konflik para pemikir sistem pemerintahan Islam.

Terlepas dari benar dan tidaknya, relevansi dan implementasinya, apa yang di gagas oleh pendiri Hizbut Tahrir ini menarik untuk ditelaah dan dikritisi kembali, guna menemukan, atau paling tidak “meraba” seperti apa konsep pemerintahan Islam itu sebenarnya (walaupun nantinya akan tetap dikatakan nisbi), sebagai manifestasi dari perkataan Umar ibnu Khattab ribuan tahun lampau:
Islam takkan ada tanpa sebuah kekuatan, dan kekuatan takkan pernah ada tanpa kepatuhan, dan kepatuhan takkan ada tanpa jemaah (organisasi), jemaah takkan pernah ada tanpa pemerintahan!

B. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari paparan diatas, rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pemerintahan Islam menurut Taqiyuddin an-Nabhani?
2. Bagaimana hukum penegakan pemerintahan Islam menurut Taqiyuddin an-Nabhani?

C. TUJUAN PENULISAN
Berbanding lurus dengan yang tersebut, penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui konsep pemerintahan Islam menurut Taqituddin an-Nabhani
2. Mengetahui hukum penegakan pemerintahan Islam menurut Taqiyuddin an-Nabhani


KAJIAN PUSTAKA

A. BIOGRAFI
Ada asumsi bahwa setiap pemikir merupakan produk zamannya. Artinya, gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh seorang pemikir pada dasarnya adalah hasil interaksi antara si pemikir dan lingkungan sosio-historis yang mengitarinya.
Secara singkat biografi beliau dapat kita bagi dari berbagai aspek, dari nasab, pertumbuhan, baik biologis dan edukasinya, hingga aktivitas politiknya. Dan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ihsan Samarah dalam Mafhum Al Adalah al Ijtima’iyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu’ashir, halaman 140-151, dan hal. 266-267 , berikut adalah biografi singkat beliau.

1) Nasab : Beliau adalah Syaikh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani, dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim yang termasuk wilayah Haifa di Palestina Utara.

2) Pertumbuhan biologis dan edukasi : Syaikh An Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayah beliau sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din. Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syari’ah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadly (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.

Mengenai Syaikh Yusuf An Nabhani ini, beberapa penulis biografi menyebutkan : “(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad An Nabhani Asy Syafi’i. Julukannya Abul Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan termasuk salah seorang qadly yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadla’) di Qushbah Janin, yang termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel (Istambul) dan diangkat sebagai qadly untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di Al Ladziqiyah, kemudian di Al Quds. Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80 buah.”

3) Pertumbuhan Syaikh Taqiyyuddin dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu, ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidup beliau. Beliau telah hafal Al Qur’an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun.Beliau banyak mendapat pengaruh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf An Nabhani, dan menimba ilmu beliau yang luas. Syaikh Taqiyyuddin juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, di mana kakek beliau mengalami langsung peristiwa-peristiwanya karena mempunyai hubungan erat dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu. Beliau banyak menarik pelajaran dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh kakek beliau, Syaikh Yusuf An Nabhani. Kecerdasan dan kecerdikan Syaikh Taqiyyuddin yang nampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya. Oleh karenanya, kakek beliau begitu memperhatikan Syaikh Taqiyyuddin dan berusaha meyakinkan ayah beliau –Syaikh Ibrahim bin Musthafa– mengenai perlunya mengirim Syaikh Taqiyyuddin ke Al Azhar untuk melanjutkan pendidikan beliau dalam ilmu syari’ah.

Syaikh Taqiyyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syari’ah dari ayah dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur’an sehingga beliau hafal Al Qur’an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di Al Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani. Syaikh Taqiyyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar.

Di samping itu beliau banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiyah di Al Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad Al Hidlir Husain –rahimahullah– seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar membolehkannya. Meskipun Syaikh Taqiyyuddin menghimpun sistem Al Azhar lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar.

Syaikh Taqiyyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan dan dosen-dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat seta hujjah yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi fikriyah, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada saat itu di Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya. Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.

Dalam forum-forum halaqah ilmiyah tersebut, An Nabhani dikenal oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan Al Azhar, sebagai sosok dengan pemikiran yang genial, pendapat yang kokoh, pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi fikriyah. Demikian juga beliau sangatlah bersungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat dalam memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.

4) Aktivitas politik : Dalam hal ini an-Nabhani dikenal sebagai orang yang perduli pada masalah-masalah politik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban barat seperti Muhammad Abduh, para pengikut konsep pembaharuan, tokoh-tokoh freemansory, dan pihak-pihak lain yang merongrong dan membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah. Hingga pada puncaknya beliau mendirikan Hizbut Tahrir pada tahun 1953 sebagai manifestasi dari pemikiran beliau. Dalam prinsip politiknya, beliau adalah orang teguh pendirian. Dalam khutbah-khutbah yang disampaikan pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Semua ini ternyata membuat murka Raja Abdullah bin Al Hussain, lalu dipanggillah Syaikh An Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama karena khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus. Beliau disuruh hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Namun Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah berpura-pura tidak mendengar. Ini mengharuskan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi Syaikh Taqiyyuddin tetap tidak menjawabnya. Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepada beliau,”Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi ?”

Lalu, Syaikh Taqiyyuddin berkata kepada dirinya sendiri,”Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti ?” Kemudian Syaikh Taqiyyuddin bangkit dari duduknya seraya berkata,”Aku berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik !” Maka marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir Syaikh Taqiyyuddin dari majelis tersebut dan menangkap beliau. Dan kemudian Syaikh Taqiyyuddin benar-benar ditangkap! Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syaikh Taqiyyuddin tersebut lalu memerintahkan pembebasannya, sehingga Syaikh Taqiyyuddin tidak sempat bermalam di tahanan. Beliau lalu kembali ke Al Quds dan sebagai akibat kejadian tadi, beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan ,”Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas pemerintahan apa pun.”

Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa pola pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tak bisa dilepaskan dari latar belakang keluarga, sosial dan sistem pemerintahan disekitarnya, dan juga interpretasi keilmuannya. Dan terlepas dari kebenaran interpretasi dan pemikirannya, beliau adalah tokoh yang prisnsipil dan konsisten akan komitmen dan pandangannya. Sebagaimana tokoh-tokoh besar dunia lainnya.

B. BENTUK PEMERINTAH ISLAM
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, bentuk pemerintahan Islam adalah versi Islam itu sendiri. Bukan mengacu pada Republik, Monarchi, Imperium, atau Federasi. Islam adalah Islam. Dengan segala kekhasan dan aspeknya, bentuk pemerintahan Islam sama sekali berbeda dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di dunia.

Bentuk pemerintahan republik yang berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatnnya ada di tangan rakyat, yang berarti rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa dan juga memecatnya, dan rakyat juga berhak membuat undang-undang dasar serta perundang-undangan, sekaligus juga menghapus, mengganti dan mengubahnya dianggap tidak sesuai dengan bentuk pemerintahan Islam. Hal ini karena pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara’, bukan di tangan umat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah semata. Khalifah hanya berhak untuk mengadopsi (tabanni) hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundangan dari al-Quran dan al-Hadits.

Perbedaan mencolok lainnnya adalah bahwa dalam bentuk pemerintahan Islam umat memang berhak untuk mengangkat khalifah, tapi umat tidak berhak untuk memberhentikannya, selama khalifah tersebut masih berjalan dalam koridor syara’, walaupun seorang khalifah harus bertanggung jawab terhadap umat dan wakil-wakilnya. Khalifah boleh diberhentikan ketika dia melakukan hal-hal yang menyimpang dari syara’, yang menyebabkan dia harus diberhentikan. Akan tetapi yang berhak untuk menentukan pemberhentian itu hanyalah mahkamah madzalim.

Sistem pemerintahan Islam juga bukan imperium (kekaisaran). Bahkan imperium amat jauh dari ajaran Islam. Dalam imperium, ada dikotomi antara ras dominan (pemerintah) dan ras lainnya. Sedangkan pemerintahan Islam menyamaratakan masyarakat terlepas dari asal suku dan rasnya. Bahkan Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mreka kepada orang non Islam yang memiliki kewaganegaraan. Mereka mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam.

Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. Dalam Islam juga tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan eksploitasi yang dikeruk oleh wilayah pusat. Semua wilayah dalam Islam dianggap sama, dalam hak dan kewajibannya, termasuk dalam hukum dan pemerintahannya.
Menurut Taqyiddin an-Nabhani, pemerintahan Islam juga bukanlah sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonomi-otonominya sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi dalam pemerintahan Islam, semua daerah adalah satu, sebagaimana yang telah di sebutkan. Bahkan jika ada daerah yang mempunyai pendapatan kurang dari kebutuhannya, maka wilayah tersebut tidak akan dipaksa mengirimkan pendapatannya kepada pemerintah pusat, melainkan akan dibantu untuk mencukupi kebutuhannya, demikian sebaliknya. Itu berarti yang menjadi ukuran adalah besar tidaknya kebutuhan dari masing-masing daerah, bukan besarnya penghasilan yang di hasilkan daerah tersebut.

Yang menarik, Taqiyuddin an-Nabhani berkeyakinan bahwa bentuk pemerintahan Islam bukanlah monarchi (kerajaan) . Dengan begitu ia juga tidak setuju terhadap konsep pemerintahan Dinasti-dinasti dalam Islam yang berlangsung selama ratusan tahun. Bahkan dalam buku pegangan Hizbut Tahrir, Sistem Pemerintahan Islam, dari Abdul Qadim Zallum hasil penyempurnaan dari buku berjudul sama dari an-Nabhani sendiri dengan jelas dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah adalah sebuah bid’ah yang munkar. Bahkan dalam kelanjutannya tertulis tentang metode pembaiatan Yasid yang menggunakan kekerasan oleh Mu’awiyah sendiri . Dalam hal ini sepertinya pandangan Hizbut Tahrir sangat keras dan kritis terhadap Mu’awiyah dan sistem dinasti setelahnya.

C. SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM
Bagi an-Nabhani, sistem pemerintahan Islam hanyalah khilafah. Dan penegakan khilafah ini wajib bagi seluruh orang Islam. Khilafah sendiri adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Yang menarik, ia mengatakan bahwa term khilafah dan imamah adalah sama. Bahkan banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa dua kata ini memiliki konotasi yang sama. Tidak satu nash syara’ pun yang menunjukkan adanya konotasi yang berbeda, baik di dalam al-Quran dan al-Hadits.
Dalam bukunya, Negara Islam, an-Nabhani menerangkan dalil kewajiban penegakan khilafah ini dengan beristinbath pada al-Quran dan Hadits serta ijma’ para sahabat. Dalil itu sebagai berikut:

Menegakkan atau mengangkat khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Tidak halal bagi muslim yang bermalam selama dua hari tanpa memberikan baiat kepada khalifah. Jika kaum muslimin menganggap sepi terhadap khalifah selama tiga saja, maka mereka semua dihukumi dosa sampai mereka berhasil menegakkan khalifah. Dosa mereka tidak akan gugur sampai mereka mencurahkan segenap upaya dan kekuatan untuk menegakkan khalifah dan mengarahkan aktifitas hingga berhasil mengangkat khalifah.
Keharusan mengangkat khalifah ditetapkan dengan Kitabullah, sunnah Rasul, dan ijma' shahabat. Dasar yang diambil dari Kitabullah adalah perintah Allah pada Rasul agar menjalankan pemerintahan (hukum) Islam di tengah kaum muslimin dengan apa-apa yang diturunkan-Nya kepadanya. Perintah-Nya tegas dan pasti. Allah berfirman: "Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang keadamu" (QS. Al-Maaidah: 48). Firman-Nya lagi: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhdap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (QS. Al-Maaidah: 49). Khithab Allah pada Rasul ini adalah khithab untuk umatnya selama belum ada dalil yang mentakhshishnya (mengecualikannya). Dan, dalam konteks ini belum ada dalil yang mentakhshishnya. Dengan demikian, khithabnya untuk seluruh kaum muslimin adalah dengan keharusan mendirikan pemerintahan [Islam]. Mendirikan khalifah adalah mendirikan pemerintahan dan kekuasaan [Islam].

Adapun dalil sunnahnya adalah sabda Rasul seperti berikut: "Barangsiapa mati dan belum mengetahui (mengakui) imam (khalifah) zamannya, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah." Imam Ahmad dan Thabrani juga meriwayatkan: "Dan barangsiapa mati, sementara di lehernya tidak ada baiat, maka matinya adalah mati jahili." Dua perawi ini meriwayatkan dari hadits Mu'awiyah. Dalam shahihnya, Imam Muslim juga punya riwayat dari Ibnu Umar yang berkata, "Saya mendengar Rasul bersabda, 'Barangsiapa melepaskan tangan dari taat pada Allah, maka dia pasti akan bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak punya hujjah. Dan, barangsiapa mati sementara di lehernya tidak ada baiat, maka matinya mati jahiliah.'" Hisyam bin 'Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dari Abuhurairah yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Setelahku akan menyusul para wulah yang memerintah kalian, lalu orang baik akan memerintah kalian dengan kebaikannya, dan orang yang cabul akan memerintah kalian dengan kecabulannya. Maka dari itu, dengarkanlah mereka dan taatilah dalam hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka (para penguasa itu) berbuat baik, maka kebaikan bagi kalian. Jika mereka berbuat jahat, maka kebaikan untuk kalian dan tanggung jawab (dosa atas kejahatan itu) dibebankan pada mereka."

Adapun dasar ijma'nya adalah sikap politik para sahabat yang membuat keputusan yang paling penting setelah wafatnya Rasul. Keputusan politik itu diwujudkan dengan mengangkat seorang khalifah. Dalilnya adalah peristiwa politik riil yang shahih di rumah Saqifah bani Sa'idah. Demikian juga mengenai pengangkatan seorang khalifah baru setelah kematian setiap khalifah sebelumnya. Keharusan mengangkat seorang khalifah yang didasarkan pada ijma' shahabat dilangsungkan dan dinukil secara mutawatir. Pengangkatan ini sampai menjadikan khalifah sebagai kewajiban terpenting di antara kewajiban-kewajiban yang ada. Demikian itu dikatagorikan sebagai bentuk dalil yang qath'i dan bentuk kesepakatan para sahabat yang mutawatir atas dilarangnya umat kosong dari adanya khalifah di manapun dan kapanpun. Oleh karena itu, umat wajib mengangkat dan memberi kuasa pada seorang imam. Dengan demikian, seluruh umat semenjak wafatnya Rasul hingga hari kiamat kena khithab dalil-dalil di atas.

Kepastian keharusan mengangkat khalifah sangat jelas. Kepastian pemahaman para sahabat atas kepastian keharusan ini juga sangat jelas. Kepastian yang jelas ini ditunjukkan dengan keputusan politik para sahabat yang mengakhirkan penguburan jenazah Rasulullah sampai mereka berhasil membaiat seorang khalifah untuk memimpin negara. Demikian juga tentang keputusan politik yang diambil Khalifah Umar bin Khaththab ra. di waktu mendekati kematiannya karena tikaman seorang budak. Melihat kondisi khalifah yang sangat kritis ini, kaum muslimin mendesak Umar ra. agar menentukan penggantinya, namun Umar ra. menolak. Lalu mereka mendesak Umar ra. hingga akhirnya khalifah memilih enam calon penggantinya. Khalifah Umar ra. membatasi pencalonan khalifah yang ditunjuknya hanya pada enam orang. Salah seorang dari mereka akan dipilih menjadi khalifah. Bahkan, Umar ra. tidak cukup dengan ini.

Dia memberi batas waktu pemilihan. Umar ra. memberi limit waktu selama tiga hari dengan catatan, jika selama tiga hari belum ada kesepakatan mengangkat seorang khalifah, maka bunuhlah yang menentang. Kemudian dia mewakilkan tugas ini pada enam calon tersebut. Di samping sebagai para calon pengganti khalifah dan termasuk para pembesar sahabat, mereka ini juga bertindak sebagai tim formatur khilafah. Mereka adalah Ali ra., 'Utsman ra., Abdurrahman bin 'Auf ra., Zubair bin 'Awwam ra., Thalhah bin 'Ubaidillah ra., dan Sa'ad bin Abi Waqash ra. Jika saja salah seorang dari mereka ada yang tidak setuju atas pengangkatan seorang khalifah harus dibunuh, maka demikian itu menunjukkan adanya kepastian hukum untuk memilih seorang khalifah.
Lebih lanjut, an-Nabhani mengatakan bahwa pemerintahan Islam itu harus memenuhi beberapa klasifikasi sebagai berikut:

Adapun kaidah-kaidah pemerintahan dalam Negara Islam ada empat macam: khalifah yang diangkat hanya seorang, kekuasaan milik umat, wewenang kepemimpinan milik syara', dan pelegalisasian hukum-hukum syara' sebagai undang-undang negara hanya dilakukan oleh khalifah. Jika salah satu dari kaidah-kaidah ini kurang, maka pemerintahan tidak bisa disebut pemerintahan Islam, bahkan harus menyempurnakan seluruh empat kaidah ini. Asas dalam Negara Islam adalah khalifah, sementara unsur-unsur lainnya adalah pengganti atau teman diskusi khalifah. Dengan demikian, Negara Islam adalah khalifah yang menerapkan Islam. Khilafah atau imamah adalah wewenang mutlak dalam mengatur kaum muslimin. Khilafah bukan termasuk akidah, tetapi bagian dari hukum-hukum syara' karena kedudukannya sebagai bagian dari masalah-masalah furu'iyah yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia.

D. STRUKTUR NEGARA ISLAM
Negara Islam berdiri di atas delapan struktur, yaitu: 1. Khalifah (kepala negara) 2. Mu’awin Tafwidh (pembantu khalifah bidang pemerintahan) 3.Mu’awin Tanfidz (pembantu khalifah bidang administrasi) 4. Amirul Jihad (panglima perang) 5. Wali (pimpinan daerah tingkat I) 6. Qadhi (hakim) 7. Mashalih Daulah (departemen negara) 8. Majelis Umat (lembaga wakil rakyat). Jika negara berhasil menyempurnakan tujuh unsur ini, maka perangkat negara juga menjadi sempurna. Jika kurang salah satu darinya, maka perangkat negara juga kurang. Akan tetapi, negara (Negara Islam) masih tetap dikatakan eksis dan kekurangan salah satu unsur itu tidak membahayakan negara selama unsur khalifah masih ada. Karena khalifah adalah asas dalam Negara Islam.
Berangkat dari urgenitas seorang khalifah, dan mengingat detailnya tujuh unsur lainnya, maka penekanan terhadap klasifikasi seorang khalifah dianggap mampu untuk mengcover keseluruhan permasalahan.

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta menerapkan hukum-hukum syara’. karena Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan tersebut menjadi milik umat. Orang yang memimpin urusan kaum muslim tidak serta merta disebut khalifah, kecuali setelah ia di bai’at oleh ahlul halli wal aqdi yang ada pada umat dengan ba’iat in’iqad (bai’at pengangkatan) secara syar’i dengan ridha dan kebebasan memilih serta memenuhi syarat-syarat in’iqadhul khilafah (pengangkatan untuk menduduki kekhilafahan).

Seseorang yang hendak di bai’at menjadi khalifah itu sendiri harus memenuhi tujuh syarat berikut:
1) Muslim. Karena itu, khalifah secara mutlak tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan hukum mentaati orang kafir itu tidak wajib. Karena Allah SWT berfirman dalam an-Nisa’ ayat 141 yang artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin”

2) Laki-laki. Wanita tidak boleh menjadi khalifah. Hal ini konklusi dari hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah yang mengatakan: “Sungguh Allah telah memberiku manfaat dari kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah pada saat perang Jamal (yang dipimpin oleh ‘Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang di pihak mereka”. Lalu ia melanjutkan, “Ketika sampai berita kepada Rasulullah bahwa bangsa Persia telah mengangkat putrid Kisra sebagai Ratu, maka beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.

3) Baligh. Tidak boleh anak-anak diangkat menjadi khalifah. Berdasarkan riwayat dari Imam Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersabda: “Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas tiga orang; anak kecil hingga mencapai akil baligh, orang yang tidur hingga bangun, dan orang gila sampai akalnya kembali”.

4) Berakal. Tidak sah orang gila menjadi khalifah. Hal ini komparatif dengan hadits di atas.

5) Adil. Yaitu, orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya (bertaqwa dan menjaga muru’ah). Jadi tidak sah orang fasik diangkat menjadi khalifah. Adil adalah syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak di angkat menjadi khalifah, bahkan adil menentukan keberlangsungan akad pengangkatannya. Sebab Allah telah mensyaratkan pada seorang saksi dengan syarat ‘adalah (adil). Dalam al-Thalaq ayat 2 Allah berfirman yang artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil dari kamu”.

Kedudukan seorang khalifah lebih tinggi daripada seorang saksi. Karena itu, tentu lebih utama dia memiliki syarat adil. Sebab kalau kepada seorang saksi saja ditetapkan syarat adil, apalagi bagi seorang khalifah.

6) Merdeka. Seorang sahaya tidak sah menjadi khalifah. Hal ini karena dia adalah milik tuannya, lalu bagaimana mungkin dia mengurusi urusan orang lain, padahal dia sendiri tidak berkuasa atas diri sendiri?

7) Mampu melaksanakan amanat khalifah. Sebab hal ini termasuk syarat yang dituntut oleh bai’at. Jadi tidak sah bai’at kepada seseorang yang tidak sanggup untuk mengemban urusan umat (amanat khalifah) berdasarkan Kitab dan Sunnah. Karena berdasarkan keduanyalah ia di bai’at.

Selain syarat in’iqad diatas, sebetulnya masih ada syarat lain, hanya saja syarat tersebut hanya bersifat afdhaliah (keutamaan) saja, seperti yang berasal dari suku Qurays dan sebagainya . Yang walaupun itu tidak terpenuhi, tetap tidak mengurangi legitimasi dari khalifah tersebut.

Komparatif dengan data di atas, pengangkatan seorang khalifah itu tidak terfokus pada sosok atau personal dari calon khalifah. Melainkan juga berkorelasi pada proses pengangkatan khalifah itu. Dan menurut Taqiyuddin an-Nabhani, pembai’atan khalifah itu dikatakan sah jika dilakukan oleh mayoritas wakil umat yang mewakili sebagian besar umat Islam yang berada di bawah kekuasaan khalifah sebelumnya. Sedangkan maksud pemilihan khalifah adalah untuk mengganti kedudukan khalifah sebelumnya sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafa al-Rasyidin.hal ini karena mengambil dari ibrah atau metode yang diaplikasikan oleh para sahabat dalam suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya Rasulullah hingga pada masa Ali bin Abi Thalib, yang memang dengan persetujuan umum walaupun dengan metode yang berbeda-beda. Pada saat itu, bai’at mereka menjadi bai’at in’iqad. Adapun setelahnya bai’at in’iqad tersebut terlaksana maka bai’at yang telah dilakukan oleh selain wakil tersenut adalah bai’at taat, yaitu bai’at untuk melaksanakan perintah khalifah, jadi bukan bai’at untuk mengangkat khalifah. Cara ini berlaku ketika seorang khalifah meninggal dunia atau diberhentikan, dan hendak diangkat khalifah baru sebagai penggantinya. Adapun dalam keadaan vakum, tidak ada khalifah sama sekali, yaitu keadaan di mana kaum muslimin diwajibkan mengangkat seorang khalifah, sebagaimana keadaan ketika runtuhnya khilafah Islam di Istanbul tahun 1924 sampai hari ini, maka setiap negeri dari seluruh dunia Islam wajib membai’at seorang khalifah dan menegakkan khilafah. Namun apabila salah satu negeri Islam tertentu telah membai’at seorang khalifah secara prosedural dan sah, maka seluruh kaum muslimin wajib membai’at khalifah itu dengan bai’at taat. Dalam hal ini tidak dibedakan, apakah negeri tersebut adalah negeri yang besar seperti Mesir, Turki, Indonesia atau negeri kecil seperti Yordania, Tunisia atau Lebanon, selama negeri itu memenuhi empat syarat berikut:

1) Kekuasaan negeri itu harus independen, hanya bersandar pada kaum muslimin, bukan kepada salah satu negeri kafir atau di bawah pengaruh orang-orang (negara-negara) kafir.

2) Keamanan bagi kaum muslimin di negeri itu adalah keamanan Islam bukan keamanan kufur. Artinya pemeliharaan keamanan mereka dari gangguan luar dan dalam negeri berasal dari kekuatan kaum muslimin sebagai kekuatan Islam semata.

3) Negeri tersebut segera menerapkan Islam secara serentak dan menyeluruh, serta segera mengemban dakwah Islam.

4) Khalifah yang dibai’at harus memenuhi syarat-syarat in’iqad, meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliah (keutamaan), karena yang menjadi patokan adalah syarat-syarat in’iqad.

Rumitnya klasifikasi menjadi khalifah itu memang berbanding lurus dengan kewenangan yang dimiliki. Karena memang hanya khalifahlah yang menjadi pemimpin tunggal seluruh umat Islam di dunia ini. Walau secara umum khalifah taj ubahnya seorang muslim biasa dengan segala hak dan kewajiban yang sama, tetap saja khalifah mempunyai ruang lebih dalam preogratifnya. Dalam ini an-Nabhani merumuskannya kedalam enam item berikut:
1) Menjadikan hukum-hukum syara’ yang dia adopsi wajib dilaksanakan.
2) Penanggung jawab politik dalam dan luar negeri sekaligus
3) Yang berhak menerima dan menolak duta-duta asing, serta mengangkat dan memberhentikan duta-duta kaum muslimin.
4) Yang berhak mengangkat para mu’awin dan wali. Mereka semua bertanggung jawab kepada khalifah, sebagaimana mereka semua harus bertanggung jawab kepada majelis umat
5) Yang mengangkat dan memberhentikan kepala pengadilan, dirjen-dirjen departemen, panglima perang, kepala staf serta para komandan yang membawa panji-panjinya. Mereka semuanya bertanggungjawab kepada khalifah, dan tidak perlu bertanggung jawab kepada majelis umat.
6) Yang berhak mengadopsi hukum-hukum syara’. dengan berpegang kepada hukum-hukum itu, disusunlah anggaran pendapatan dan belanja negara.
Dari seluruh paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sistem Pemerintahan Islam menurutTaqiyuddin an-Nabhani adalah khilafah dengan khalifah sebagai kartu trufnya. Dan wajib hukumnya bagi seluruh umat Islam menegakkan kekhilafahan ini. Dan jika pada salah satu negara Islam hal itu telah di lakukan, dan sesuai dengan prosedur yang di gariskan, maka wajib bagi seluruh umat Islam untuk membai’at terhadap khalifah tersebut, walaupun berasal dari negeri yang kecil dan minoritas. Adapun hal-hal lainnya lebih kepada permasalahan tekhnis dan dianggap mampu untuk di integrasikan kedalam paparan diatas.

PEMBAHASAN
Dikalangan pemikir Islam terdapat dua garis aliran: yang satu mengatakan bahwa negara merupakan instrumen kekuasaan untuk menegakkan syariat Allah, sementara yang lain, menafsirkan bahwa negara hanyalah instrumen politik untuk menegakkan etika Islam yang bersifat universal. Dalam hal ini, Taqiyuddin an-Nabhani jelas berada pada kelompok yang pertama. Menurutnya, pemerintahan Islam adalah Islam itu sendiri, bukan demokrasi, republik, imperium, atau federasi. Dalam hal ini beliau berbeda pendapat dengan banyak pemikir Islam yang mengasumsikan pemerintahan Islam sebagai pemerintahan yang bercorak demokrasi, berlandaskan apa yang dilakukan para sahabat pasca wafatnya baginda Nabi.

Dalam hal itu, demokrasi dipandang dari sisi historis ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda. Di “Barat” demokrasi diberikan arti seperti yang diberikan revolusi Prancis, yaitu suatu istilah yang menunjukkan prinsip persamaan hak warga negara dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi, serta adanya hak pengawasan bagi mereka melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat yang anggotanya dipilih oleh setiap warga negara yang telah dewasa dengan suatu aturan “one man one vote”. Pengertian ini kemudian berkembang lagi mencakup hak dari warga negara untuk memutuskan suatu perkara dengan suara terbanyak (voting).

Lebih lanjut, pengertian seperti ini sebenarnya berbeda dengan konsep awal yang digunakan oleh penemu istilah ini, orang-orang Yunani Kuno. Bagi bangsa Yunani kuno, demokrasi adalah “pemerintahan dari rakyat untuk rakyat” yang diaplikasikan dalam suatu bentuk pemerintahan oligarki. Oligarki adalah suatu pemerintahan yang dipegang oleh elite tertentu dan tidak mencakup (wakil) seluruh rakyat. Hal ini karena dalam negara-negara yang pernah ada pada zaman mereka, istilah “rakyat” berarti warga negara yang merdeka, yang tidak sampai sepersepuluh dari populasi. Sedangkan yang lainnya golongan budak dan sahaya yang tidak memiliki hak dalam kewarganegaraan. Di Amerika Serikat sendiri, sebagai sebuah negara yang selalu mengklaim sebagai negara paling demokratis ternyata memiliki sistem pemerintahan paling rumit. Konstitusi mereka pun sampai pada tahun 1971 telah mengalami 26 kali amandemen. Dalam dua kali pemilu terakhir, Al-Gore dan John F Kerry yang jelas-jelas mendapatkan dukungan rakyat lebih banyak dari George W Bush Jr ternyata tidak berhasil menjadi presiden karena sistem pemilihan distrik. Lalu Megawati Soekarno Putri yang walaupun partainya menjadi pemenang dominan dalam pemilu 1999 harus menjadi wakil presiden karena sistem pemilihannya masih diwakilkan kepada anggota MPR.

Dari analogi diatas, apakah suksesi yang dilakukan oleh para sahabat dari periode Abu Bakar pasca wafatnya Rasulullah hingga Ali bin Abi Thalib bukan merupakan sebuah pemilihan yang demokratis, walaupun dengan format dan prosedur yang berbeda? Bukankah antara demokrasi Amerika Serikat, Inggris dan Indonesia juga di anggap berbeda? Atau mungkinkah demokrasi itu ada dalam Islam tapi Islam bukan yang demokratis?

Husain Haikal memandang bentuk pemerintahan Islam sejalan dengan sistem demokrasi. Akan tetapi, yang dimaksudkan Haikal dengan demokrasi di sini berbeda dengan demokrasi barat. Ia menegaskan bahwa meskipun ada kesamaan antara demokrasi Islan dan barat, tetap ada perbedaan yang mendasar. Perbedaan ini antara lain disebabkan berbagai faktor, mulai latar belakang historis, sosio-kultural, sampai ekonomi. Sistem demokrasi barat menurut Haikal mengacu kepada prinsip pengakuan hak-hak manusia yang berasal dari tiga tuntutan revolusi Prancis, yaitu kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Demokrasi Islam mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi pengelolaan hidup bernegara, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan dan kebebasan yang ketiganya mengacu pada ajaran tauhid.

Lebih lanjut, Ahmad Syauqi al-Fanjari memperkuat penyataan adanya afinitas di antara demokrasi dan Islam sebagai berikut:
…apa yang disebut kemerdekaan di Eropa adalah persis apa yang didefinisikan oleh agama kita sebagai keadilan (‘adl), hak (haq), musyawarah (syuro) dan persamaan (musawat)… Ini disebabkan karena aturan-aturan kemerdekaan dan demokrasi terdiri dari pemberian keadilan dan hak kepada rakyat, dan peran serta bangsa dalam menentukan nasibnya sendii. Padanan kemerdekaan dalam Islam adalah kebaikan budi dan kasih saying (rahmah) dan padanan demokrasi adalah saling mengasihi (tarahum). Dalam al-Quran Muhammad diperintahkan untuk menunjukkan kelembutan dan sikap pemaaf dan di dalam ayat yang sama dia diperintahkan agar bermusyawarah dengan kaum muslimin dalam urusan-urusan kemasyarakatan. Diriwayatkan bahwa Muhammad telah mengatakan bahwa Allah “telah menganugerahkan musyawarah sebagai rahmat bagi umatnya”

Dari sekian pendapat diatas, yang menjadi pokok permasalahan adalah term demokrasi. Dalam hal ini antara an-Nabhani dan Haikal misalnya, mempunyai interpretasi berbeda tentang esensi dari demokrasi. Ketidaksenangan an-Nabhani pada term demokrasi bisa dimaklumi jika kita melakukan flash back terhadap biografi seorang an-Nabhani. An-Nabhani yang hidup pada masa awal hingga pertengahan abad ke 20 yang memang merupakan masa intens dari benturan pemikiran Barat dan Timur (Islam), yang diwarnai kejatuhan Dinasty Ustmani, yang mana kakek an-Nabhani menjadi seorang Qhadi dan berpengaruh di dalamnya, turut mewarnai corak pemikirannya. Pada masa itu juga dikotomi antara Barat dan Islam masih sangat kental, sehingga hadits “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk di antaranya” di anggap sangat relevan dalam banyak aspek. Di Indonesia saja, pada masa-masa itu, banyak kiai yang tidak mau menggunakan celana, baju motif kotak dan perangkat lainnya yang merupakan “trade mark” orang-orang kafir. Berbanding lurus dengan itu, Husain Haikal sendiri merupakan pengikut Muhammad Abduh, yang lebih toleran dan modern dalam interaksinya dengan pemikiran Barat.

Kesimpulan dari berbagai analisa di atas, sistem pemerintahan Islam dari satu sisi adalah demokratis, atau paling tidak kental dengan corak demokrasi. Walaupun sifatnya relatif, karena interpretasi dari esensi demokrasi sendiri, dalam al-Quran Surah al-‘Imron ayat 159 telah disebutkan tentang musyawarah, yang merupakan satu hal paling mudah untuk menjelaskan inti dari demokrasi. Arti dari ayat tersebut:
“Maka di sebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Dalam sebagian wasiatnya, Umar ibnu Khattab berkata: “Sesungguhnya tiada nasab antara Allah dan seseorang kecuali mematuhi-Nya. Maka manusia itu, mulya dan kedudukannya dalam Dzat Allah adalah sama” Lalu terhadap khalifah sesudahnya beliau berwasiat: “Jadikanlah manusia itu sama….”

Dalam pemerintahan selanjutnya (Dinasti Umayah) corak pemerintahan itu berubah menjadi sistem kerajaan turun temurun (monarchiheridites) . Hal inilah yang menjadi sebuah kontroversi berkepanjangan dari internal umat Islam sendiri. Karena yang meletakkan hal itu pertama kali adalah seorang sahabat Nabi terkemuka, yang sekaligus menjadi salah satu sekretaris Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dan dari inilah pemikir barat cenderung menganggap bahwa Islam itu identik dengan kerajaan atau imperium, yang jauh sekali dari nuansa demokrasi. De factonya, sistem monarki ini berlangsung begitu lama, sehingga menjadi kewajaran jika stigma seperti itu muncul.

An-Nabhani dalam hal ini dengan tegas mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam yang sebenarnya adalah bukan monarki, bahkan apa yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah adalah bid’ah munkar. Dalam hal ini biasanya kalangan Islam konservatif cenderung “tidak berani” untuk menjustifikasi Mu’awiyah dikarenakan beliau adalah seorang sahabat. Sebagaimana yang diterangkan dalam al-Quran Surah at-Taubah ayat 100 yang berarti:
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha pada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang besar”.

Sebagai ilustrasi, golongan Sunni dalam konflik antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah mempunyai semboyan “Kami tidak berkomentar tentang apa yang terjadi antara para sahabat”. Hal inilah yang membedakan antara an-Nabhani dengan kebanyakan pemikir Islam klasik.

Kalau kita menggunakan pendekatan teologis, sebenarnya perlu di tanyakan apakah ayat di atas betul-betul menutup pintu untuk “mempertanyakan” tentang perbuatan sahabat. Dalam hal ini, ketika umat Islam bersiap-siap berangkat menuju Makkah dalam fathu Makkah, Hatib bin Abi Balta’ah mengirim sepucuk surat di tangan seorang wanita bernama Sarah dan diberi upah supaya surat itu disampaikan kepada Quraisy. Isi surat itu mengabarkan bahwa Nabi Muhammad sedang mengadakan persiapan untuk menghadapi mereka. Nabi pun menyuruh Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam mengejar Sarah. Lalu kemudian surat yang disembunyikan di dalam rambut itu diambil dan di berikan kepada Nabi. Ketika di panggil oleh Rasulullah, Hatib berkata: “Rasulullah, demi Allah saya tetap beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah. Sedikit pun tak ada perubahan pada diri saya. Saya tidak punya hubungan keluarga atau kerabat dengan mereka, tetapi saya punya seorang anak dan keluarga di tengah-tengah mereka. Saya berbuat itu hanya hendak menenggang mereka”. Setelah itu Umar ibnu Khattab meminta idzin untuk memenggal leher Hatib, akan tetapi Rasulullah melarangnya dan bersabda: “Dari mana anda tahu itu, Umar. Mudah-mudahan Allah sudah menempatkan dia sebagai orang-orang Badr ketika terjadi perang Badr”. Dan de factonya Hatib bin Abi Balta’ah memang ikut perang Badr. Yang menjadi point adalah, Hatib bin Abi Balta’ah adalah seorang sahabat yang mengikuti perang Badr, yang mendapat janji keistimewaan, akan tetapi apakah perbuatannya itu bukan merupakan kesalahan? Dan apakah para sahabat itu memiliki sifat ma’shum (tidak melakukan maksiat) sebagaimana para Nabi? Dan apakah ke-ridha-an Allah itu tidak bisa terjadi setelah perbuatan yang salah dari mereka, sebagaimana Rasulullah memaafkan Hatib bin Abi Balta’ah?

Monarki dengan kekuasaan absolutnya sepertinya memang tidak cocok dengan Islam. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda pada orang A’raby yang gemetar kepadanya “Ringankanlah padamu, aku bukanlah raja, aku hanyalah anak laki-laki dari perempuan quraisy yang memakan dendeng”. Lalu hadits yang diriwayatkan oleh Abi Dawud dari Abdullah bin Yasr “Sesungguhnya Allah menjadikanku hamba yang mulya, dan Allah tidak menjadikanku diktator yang keras kepala”. Dan perkataan Umar ibnu Khattab pada manusia “Demi Allah aku bukanlah raja yang Menjadikan kalian dengan kekuasaan dan keotoriteran, aku bukanlah siapa-siapa melainkan sebagian dari kalian. Tempatku (manzilah) dari kalian adalah seperti tempat wali anak yatim dari yatim itu sendiri dan harta bendanya”.

Dan Umar bin Abdul aziz, khalifah “penyelamat” Bani Umayyah yang terkenal adil ketika selesai dilantik (bai’at) dihaturkan kepadanya kendaraan resmi khalifah, menolak dan meminta kendaraannya sendiri, kemudian berkata “Aku hanyalah seorang lelaki dari golongan manusia”. Kemudian setelah itu beliau berjalan berbaur dengan manusia hingga masuk masjid. Kemudian beliau naik mimbar dan berkhutbah yang di antaranya: “Aku bukanlah seorang qadhi, akan tetapi pelaksana. Aku bukanlah seorang pembuat-buat (bid’ah), melainkan pengikut. Dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, hanya orang yang paling berat tanggungannya”. Kiranya hal itu sudah bisa menjawab dengan komprehensif dan holistic.

Dalam realitanya, Sistem monarki yang diterapkan Dinasti-dinasti setelah itu mempunyai kelemahan laten yang sangat nyata, sistem seperti itu membutuhkan kompetensi dan kapabilitas dari sang pemimpin. Jika pemimpin tidak mempunyai keduanya, maka akan goyahlah kepemerintahan itu. Hal ini dapat dibuktikan dari realitas sejarah tentang keruntuhan Dinasti-dinasti Islam dikarenakan lemahnya pemimpin mereka, sebagaimana kehancuran Louis XIV, yang berprinsip, “Negara adalah saya”. Hal ini sepertinya selaras dengan aksioma Lord Action, “power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely”

Adapun sistem republik dan federasi, tak bisa lepas dari sistem monarki dan demokrasi. Montesquieu membagi pemerintahan ke dalam tiga bentuk, pertama; republik, dan dibagi menjadi dua pula. Yakni demokrasi dan aristokrasi, kedua; monarki.

Ketiga; despoitisme.
Dalam konsep an-Nabhani, khalifah menjadi sebuah harga mati. Keberadaannya merupakan elemen penting dari sistem pemerintahan Islam. Dan kedudukannya adalah sebagai pengganti daripada Rasulullah dalam bidang pemerintahan, bukan kenabian. Walaupun mempunyai beberapa keistimewaan, khalifah secara global tetap saja sama dengan masyarakat umum dalam hak dan kewajibannya. Konsep ini mempunyai banyak penentang. Yang menjadi titik perbedaan adalah interpretasi terhadap pola pemerintahan Nabi dan sahabat sesudahnya, sebagaimana yang telah di sebutkan dalam awal bab. Dan makalah ini memang tidak ditargetkan untuk membahas masalah itu secara komprehensif, karena membutuhkan waktu dan konsentrasi yang lebih. Terlepas dari kebenaran interpretasi an-Nabhani terhadap teks-teks agama, seorang pemimpin mestinya memang harus seperti itu. Stogdill setelah melakukan analisis menyimpulkan sejumlah ciri yang lebih konsisten menandai pemimpin yang lebih efektif. Tanda-tanda itu mencakupi:
Rasa tanggung jawab
 Mementingkan penyelesaian tugas
 Energi
 Ketegaran
 Pengambilan resiko
 Keaslian
 Percaya diri
 Kemampuan mengendalikan stress
 Kemampuan mempengaruhi
 Kemampuan mengkordinasi upaya orang lain dalam pencapaian tujuan


Dan kalau kita mengamati dengan sungguh-sungguh, pola kepemimpinan Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin beserta Umar bin Abdul Aziz sepertinya sama dengan kriteria diatas. Dan memang pemegang puncak kepemimpinan itu harusnya cuma ada satu, terlepas dari sistem dan pola kepemimpinannya. Karena memang sebagai makhluk sosial manusia itu membutuhkan keberaturan dan ketertiban, dan itu tidak akan terwujud tanpa adanya “ke-esaan” pemimpin. Mungkin inilah yang di inginkan oleh Ibnu Taimiyah dalam pernyataannya yang terkenal: “Enam puluh tahun berada di bawah penguasa yang zalim jauh lebih baik ketimbang terjerat dalam situasi yang anarkhis”

Adapun tentang klasifikasi seorang khalifah dan tekhnis lainnya, hal itu sudah terback-up oleh paparan di atas. Hanya saja yang menarik untuk lebih di analisa kembali adalah masalah gender di klasifikasi khalifah itu, yang berarti menutup pintu bagi wanita untuk menjadi khalifah. Dalam hal ini, an-Nabhani dan para mayoritas pemikir Islam selalu mengacu pada hadits Abi Bakrah yang mengatakan: “Sungguh Allah telah memberiku manfaat dari kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah pada saat perang Jamal (yang dipimpin oleh ‘Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang di pihak mereka”. Lalu ia melanjutkan, “Ketika sampai berita kepada Rasulullah bahwa bangsa Persia telah mengangkat putrid Kisra sebagai Ratu, maka beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.

Akan tetapi ada wacana yang mengihtimalkan makna wanita (imra’ah) tadi bukan pada seksualitas, melainkan pada gender atau sifat kewanitaan. Hingga memang jika ada pemimpin yang mempunyai sifat seperti seorang perempuan, yang berkonotasi cengeng dan tidak tegas, akan mengakibatkan kecelakaan terhadap kaum yang di pimpinnya. Ini rasional, hanya saja yang perlu dipertanyakan lafadz “putri Kisra” yang ada dalam redaksi hadits itu menjadi semacam justifikasi akan kehakikian dari makna imraah (wanita) dan bukan gender atau sifat kewanitaan. Tetapi pula perlu juga dipertanyakan apakah hadits ini termasuk kalam ikhbar ( informatif) atau thalab (perintah)? Lagi pula, de factonya memang supremasi laki-laki terhadap perempuan memang sampai kini tetap terjadi. Dalam Amerika Serikat saja yang ultra cosmopolitan, statistik komparatif ternyata masih memenangkan pria sebagaimana berikut:
5% Mereka (wanita) adalah pemimpin seribu perusahaan terbesar di Amerika
22% Mereka adalah pemimpin bank-bank sentral
21% Mereka adalah pemimpin jurnal-jurnal besar
19% Mereka adalah pemimpin perusahaan makanan
71% Mereka adalah yang menggaji kaum pria dengan ijazah yang sama
40% Mereka adalah pemimpin pada level menengah di Amerika
5% Mereka adalah pemimpin perusahaan-perusahaan besar

Kesimpulan dari pembahasan di atas, Sistem Pemerintahan Islam masih dalam perdebatan yang berkepanjangan. Hal itu karena adanya interpretasi yang berbeda tentang teks-teks agama, dan cara pandang yang berbeda tentang urgenitas dari sebuah negara Islam itu sendiri. Dan hal itu berbanding lurus dengan hukum dari penegakan pemerintahan Islam itu sendiri.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Taqiyuddin an-Nabhani lahir pada tahun 1909 di daerah Ijzim. Dalam perkembangannya ia tumbuh di tengah keluarga yang perduli pada pendidikan. Kakeknya merupakan qadhi (hakim) pada zaman Dinasti Ustmany, dan ia ikut pula merasakan keruntuhan dari Dinasti itu. Hal itu pula yang ikut mempengaruhi corak pemikiran an-Nabhani hingga akhirnya menawarkan konsep khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan Islam, yang pada akhirnya di manifestasikan dalam pendirian Hizbut Tahrir.

Menurut an-Nabhani, sistem pemerintahan Islam bukanlah system yang demokratis, republik atau federasi dan apalagi monarki. Sistem pemerintahan Islam adalah Islam itu sendiri. Yang berdasarkan syari’at dan ibrah pola pemerintahan Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin.

Negara Islam berdiri di atas delapan struktur, dengan Khalifah sebagai elemen paling penting. Khilafah menurut an-Nabhani adalah pemegang pucuk pemerintahan Islam. Hanya saja, walaupun merupakan pimpinan tertinggi, tetap saja khalifah mempunyai kewajiban dan hak yang sama sebagaimana umat pada umumnya, seperti sholat, puasa dan larangan berzinah dan lainnya.

Pengangkatan seorang khalifah tidak hanya terfokus pada personalia dari calon khalifah tadi, melainkan juga pada proses pengangkatan itu sendiri. pembai’atan khalifah itu dikatakan sah jika dilakukan oleh mayoritas wakil umat yang mewakili sebagian besar umta Islam yang berada di bawah kekuasaan khalifah sebelumnya.
Dan jika sudah ada sebuah khalifah yang di angkat dengan sah dan prosedural, maka wajib bagi seluruh orang Islam untuk membai’at dan patuh kepada khalifah tersebut, terlepas dari besar atau kecilnya negara itu.

B. Saran
Bertolak dari paparan di atas dan realita sejarah, dan terlepas dari benar atau tidaknya konsep pemerintahan khilafah, hal itu masih lebih baik dari pada ketidak adaan sebuah pemerintahan yang utuh dan nyata. Karena idealisme yang tinggi tanpa adanya implementasi hanya bagaikan orang yang bermimpi. Dan seperti Kristen dengan Vatikannya, terbukti mampu dan bisa memberikan perlindungan dan kepastian bagi pemeluknya.


DAFTAR PUSTAKA

Ibahim Jindan, Khalid, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, terj oleh Mufid, Rineka Karya, Jakarta, hal v 1994.
Mulia, Musdah, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, hal 32, 2001
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir, www.hizbut-tahrir.or.id, page 1-11di akses 07-12-2007
Zallum, Abdul Qadim, Sistem Pemerintahan Islam, terj oleh Maghfur, Darul Ummah, Bangil, hal 25, 2002.
lihat juga Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo Perkasa, hal 42, 2005
Zallum, Abdul Qadim, Sistem Pemerintahan Islam, terj oleh Maghfur, Darul Ummah, Bangil, , hal 31, 2002.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Negara Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, hal 107-110, tanpa tahun. Lihat juga Zallum, Abdul Qadim, Sistem Pemerintahan Islam, terj oleh Maghfur, Darul Ummah, Bangil, hal 31-35, 2002.
Mulia, Musdah, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, hal xii, 2001
Masykur Hasyim dan Tanu Widjaya, Model Masyarakat Madani, Intimedia Cipta Nusantara, Jakarta hal 55, 2003.
Pamudji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, hal 167, 1995
Mulia, Musdah, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, hal 206-207, 2001
Masykur Hasyim dan Tanu Widjaya, Model Masyarakat Madani, Intimedia Cipta Nusantara, Jakarta hal 57, 2003.
al-Khayyath, Muhyiddin, Durus al-Tarikh al-Islami, Juz 3 al-Hidayah Surabaya hal 64 tanpa tahun
Said, Fuad, Ketatanegaraan menurut Syariat Islam, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Selangor Malaysia, hal 1 2002
Syamsuddin, Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Kalimah Jakarta, hal ix, 2001.
Mulia, Musdah, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, hal 203, 2001
Poster, Cryil, Gerakan Menciptakan Sekolah Unggul, Lembaga Indonesia Adidaya, Jakarta hal 159, 2000
Ibahim Jindan, Khalid, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, terj oleh Mufid, Rineka Karya, Jakarta, hal ix1994.
As-Suwaidan, Thariq Muhammad, Sukses Menjadi Pemimpin Islami, terj oleh Samson Rahma, Maghfirah Pustaka Jakarta hal 247, 2006

3 komentar:

Abdullah Blogspot mengatakan...

pemimpin yang baik mungkin adalah dia yang berusaha untuk mengerti keadaan dan keinginan yang dipimpin "Melihat kebawah" dan gak "Keatas" benar gak bang?

Mudatsir MR mengatakan...

Mon panekah acora' artikelnya Pak Direktur...

Unknown mengatakan...

tul juga apa yang dikomentari ama saudara -saudara

Posting Komentar