Headline

  • Kongres IMABA 2
  • Rapat IMABA di Arek Lancor
  • Cangkruk, Bro....!
  • Ngumpul lagi, Man....!

Followers

EKSISTENSI PERAN PESANTREN DALAM DUNIA POLITIK


By: Abullah*

Mungkin ketika anda melihat judul diatas, anda akan memberikan interpretasi bahwa tulisan ini sengaja ditulis untuk menopang legalisasi peran akrtif pesantren yang akhir-akhir ini secara samar (diantaranya) dan bahkan secara terang-terangan (mayoritas) menjadi juru kampanye partai politik, bahkan diantara pesantren-pesantren besar di madura (mungkin saja se-Indonesia) mempunyai ikatan kontrak kerja sama yang yang saling menguntungkan diantara kedua belah pihak terhadap perkembangan persantren kedepan, kendati demikian sebenarnya tulisan ini hanya bentuk uraian isi hati penulis demi melihat geliat politik di Madura kita tercinta ini
Politik memilkiki banyak pengertian, tergantung siapa yang memberika pengertian akan kata ini, menurut para petani, politik adalah “racun yang terbungkus dengan roti tawar berselai stroberi” Sedangkan untuk kalangan yang lain istilah politik lebih dikenal dengan “cara seseorang mengelabui rival-rivalnya” untuk kalangan pembisnis politik adalah “lahan untuk meraup keuntungan” untuk kalangan santri politik biasa diartikan “cara mereka mengatasi keseretan masalah” dan lain-lain.
Intinya politik sampai saat ini belum menjadi suatu istilah yang dikenal merata dikalangan masyarakat, jadi perlu kiranya penyuluhan-penyuluhan bagaimana politik itu sebenarnya, tujuan, manfaat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kata politik ini, penyuluhan tidak perlu forum formal atau forum resmi yang membutuhkan biaya, akan tetapi cukup kiranya dari pertemuan-pertemuan kecil acara kemasyarakatan seperti cangkruan pasca tahlilan, pasca walimah dan acara-acara lainnya
Dari itu mungkin ketakutan masyarakat akan monster yang namanya politik ini mungkin akan dapat berkurang, dan efeknya dapat dirasakan ketika proses demokrasi berjalan sesuai dengan harapan kita bersama, dan dengan ini pula diharapkan angka GOLPUT yang sudah mancapai sekian puluh persen dapat diminimalisir
Sebenarnya kalau kita mau berpolitik sesuai dengan hakikat politik itu sendiri niscaya keutuhan bangsa akan dapat dipertahankan, persaingan antar kelompok yang sudah semakin memanas (lebih-lebih pra pesta demokrasi 2009) ini, pun demikian calon anggota legislative tidak akan hanya mengobral janji muluk realisasi melompong.
Pesantren sebagai salah satu instansi yang bergerak dibidang pendidikan social dan budaya memungkinkannya untuk menjadi mediator dalam pembersihan citra politik dan sekaligus selaku pengawas para pemain politik agar mereka dapat terkontrol dengan baik dan dapat menjalankan amanah bangsa yang telah dimbankan pada mereka. Bahkan kalau perlu kiranya pesantren dapat mengutus salah satu kadernya untuk terjun langsung keranah ini, asal bukan pimpinannya saja yang berkecimpung aktif menjadi calon anggota legislatif
Jika kemudian pesantren dikekang untuk berperan aktif dalam percaturan politik, maka siapa yang akan bertindak sebagai pengingat bahkan eksekutor bagi mereka yang mbalelo dari janji-janji yang telah mereka obral sebelumnya, sangat mungkin sekali -jika kemudian pesantren diberi batas dalam perannya- kursi legislative akan dijadikan sabagi lapangan pekerjaan, bukan sarana pembela dan memperjuangkan hak-hak rakyat.
Jika kita ibaratkan, politik ini diibaratkan pada sebuah permainan, dimana dalam sebuah permainan pastinya ada dua atau lebih (orang atau kelompok) yang bertindak sebagai pemain, dan disitu juga tidak boleh dihilangkan yang namanya wasit atu penengah, demi sportifitas dalam sebuah permainan, mungkin criteria yang tepat untuk seorang wasit adalah: Jujur Amanah, Menguasai jenis permaian yang sedang berlangsung, Berada di zona bebas (Tidak fanatic golongan) Tegas, Lebih baik dan lebih segalanya dari para pemain
Dapat dibayangkan, apabila criteria tersebut sudah terpenuhi dalam diri wasit (pesantren yang berperang dalam dunia politik) maka pertandingan (dunia prpolitikan) sebuah Negara akan berjalan tertib, aman, tanpa adanya “pertumpahan darah”.
Dilematis mungkin pesantren dihadapkan pada dunia “yang tidak jelas” ini, disatu sisi banyak bertebaran partai-partia politik yang mengatasnamanakan dirinya Islam -walaupun itu hanyalah polesan belaka- disatu sisi lain partai yang ia pilih justru menjadi tempat bercokolnya tikus-tikus Negara yang senantiasa menggerogoti lumbung-lumbung devisa Negara, belum lagi pertentangan antara pelaku pesantren dengan pelaku pesantren lainnya yang diakibatkan perbedaan partai dan idiologi, malah tidak jarang pesantren (para pelakunya) dengan pesantren yang lain bersaing habis-habisan untuk mendapatkan simpati masyarakat dalam bidang politik yang tidak jelas, hinggga hal ini mengakibatkan masyarakat bawah bimbang untuk menentukan siapa yang akan ia ikuti. Jika kemudian hal tersebut terus saja berlangsung, maka pesantren bukan lagi menjadi penengah dalam bidang ini, justru menjadi pemicu terpetaknya umat Islam.
Langkah terbaik mungkin adalah bagaimana pesantren mampu menempatkan dirinya sebagai seorang wasit yang bertindak sebagai pengawas, penengah, “pemberi hukuman” bagi pelaku politik negeri ini, bukan malah menjadi orator penggerak masa, atau malah menjadi tim sukses dalam pemenangan satu kelompok yang ia dukung.
Pada pemilihan presiden kali ini, pesantren mempunyai tugas besar untuk mengarahkan masyarakat pada calon yang diharapkan mampu menjadi pemimpin negeri ini, mampu menampung dan merespon segala kebutuhan dan keluhan rakyatnya, prinsipnya silahkan pesantren beda partai atau beda pilihan asalkan kemukakan alas an yang jelas kepada masyarakat tentang pilihannya, tanpa menafikan hak-hak orang lain apalagi mencaci dan mencerca lawan politiknya, karena bagaimanapun sampai saat ini masyarakat masih percaya penuh akan peran aktif pesantren dalam kehidupan social masyarakat.
Mungkin cukup sekian apa yang dapat penulis katakana dalam tulisan ini, karena bagaimanapun ini adalah sumbangan pemikiran, terima atau tidaknya, itu terseah anda…….!

5 komentar:

IMABA PAMEKASAN mengatakan...

Monggo komentarnya barangkali bisa jadi acuan dalam penerbitan berikutnya......!

Ali Ridho mengatakan...

ocee ca' aab, aq tunggu artikel barunya yaaaa

Mudatsir MR mengatakan...

Saya tertarik dengan kata:

"Sebenarnya kalau kita mau berpolitik sesuai dengan hakikat politik itu sendiri niscaya keutuhan bangsa akan dapat dipertahankan..."

Apa iya ya...

Zaini Mujtaba mengatakan...

Sebagaimana TNI yang sudah kembali ke barak, para ulama seharusnya kembali fokus mengasuh pesantren, buka mengasuh politik

Mudatsir MR mengatakan...

@ Zaini: TNI yg sudah kembali ke barak..? saya kira 'ulama' harus tetap berjuang di segala lini kehidupan (pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, hukum). Istilah "kembali ke barak" adalah sebuah ekspresi dari tidak adanya sebuah "wide view" dalam hidup (saya kira)... Apakah keliru jika seorang ulama menjadi sastrawan? Apakah salah jika pengasuh pesantren menjadi pakar ekonomi? gubernur BI? aktivis HAM? pemerhati lingkungan? lawyer? pakar pendidikan? hakim di pengadilan? dll... "Ekspansi ke luar mesjid" memang diperlukan asal tidak lupa dengan mesjidnya (dengan cara yg baek tentunya). Ingat, paradigma berubah secara evolutif.

Posting Komentar